PUBLIC RELATIONS
FAKULTAS TEKNIK
INFORMASI
UNIVERSITAS
KRISTEN SATYA WACANA
2013
|
A.
Pendahuluan
Selain
memiliki kemegahan arsitektur bangunan, Kraton Surakarta juga memiliki suatu
warisan budaya yang tak ternilai. Diantaranya adalah upacara-upacara adat,
tari-tarian sakral, musik, dan pusaka. Upacara adat yang terkenal adalah
upacara Garebeg, upacara Sekaten, dan upacara Malam Satu Suro. Upacara yang berasal
dari zaman kerajaan ini hingga sekarang terus dilaksanakan dan merupakan
warisan budaya Indonesia yang harus dilindungi.
Tahun baru
Jawa yang jatuh tiap malam 1 Suro (1 Muharram) tidak disambut dengan
kemeriahan, namun dengan berbagai ritual sebagai bentuk introspeksi diri. Saat
malam 1 Suro tiba, masyarakat Jawa umumnya melakukan ritual tirakatan,
lek-lekan (tidak tidur semalam suntuk), dan tuguran (perenungan diri sambil
berdoa). Bahkan sebagian orang memilih menyepi untuk bersemedi di tempat sakaral
seperti puncak gunung, tepi laut, pohon besar, atau di makam kramat. Bagi
masyarakat Jawa, bulan Suro sebagai awal tahun Jawa juga dianggap sebagai bulan
yang sakral atau suci, bulan yang tepat untuk melakukan renungan, tafakur, dan
introspeksi untuk mendekatkan dengan Yang Maha Kuasa. Cara yang biasa digunakan
masyarakat Jawa untuk berinstrospeksi adalah dengan lelaku, yaitu mengendalikan
hawa nafsu.
Sepanjang
bulan Suro masyarakat Jawa meyakini untuk terus bersikap eling (ingat) dan
waspada. Eling artinya manusia harus tetap ingat siapa dirinya dan dimana
kedudukannya sebagai ciptaan Tuhan. Sedangkan waspada berarti manusia juga
harus terjaga dan waspada dari godaan yang menyesatkan. Karenanya dapat
dipahami jika masyarakat Jawa pantang melakukan hajatan pernikahan selama bulan
Suro. Pesta pernikahan yang biasanya berlangsung dengan penuh gemerlap dianggap
tidak selaras dengan lelaku yang harus dijalani selama bulan Suro. Ritual 1
Suro telah dikenal masyarakat Jawa sejak masa pemerintahan Sultan Agung (1613-1645
Masehi). Saat itu masyarakat Jawa masih mengikuti sistem penanggalan Tahun Saka
yang diwarisi dari tradisi Hindu. Sementara itu umat Islam pada masa Sultan
Agung menggunakan sistem kalender Hijriah. Sebagai upaya memperluas ajaran
Islam di tanah Jawa, kemudian Sultan Agung memadukan antara tradisi Jawa dan
Islam dengan menetapkan 1 Muharram sebagai tahun baru Jawa.
Di Kraton
Surakarta Hadiningrat kirab malam 1 Suro dipimpin oleh Kebo Bule Kyai Slamet
sebagai Cucuking Lampah. Kebo Bule merupakan hewan kesayangan Susuhunan yang
dianggap kramat. Di belakang Kebo Bule barisan berikutnya adalah para putra
Sentana Dalem (kerabat kraton) yang membawa pusaka, kemudian diikuti masyarakat
Solo dan sekitarnya seperti Karanganyar, Boyolali, Sragen dan Wonogiri.
B.
Sejarah
Pada masa Pemerintahan Pakoe Boewono
II, jaman Kraton Kartasura di sekitar abad ke 17, diceritakan bahwa di kerajaan
terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh Pangeran Mangkubumi yang membuat
’sinuwun’ harus melarikan diri ke Ponorogo. Di Ponorogo beliau ditampung oleh
Bupati Ponorogo dan berdiam di sana untuk beberapa saat hingga pemberontakan
berakhir. Pada masa pelariannya di Ponorogo, Sang Raja Kartasura itu memperoleh
petunjuk gaib bahwa pusaka Kyai Slamet harus ‘direkso’ atau dijaga oleh sepasang
‘kebo bule’ atau kerbau albino jika ingin kerajaan aman sentausa dan langgeng.
Kuasa Tuhan yang luar biasa pada saat itu, seolah gayung bersambut, Sang Bupati
Ponorogo tiba-tiba ingin menunjukkan baktinya kepada rajanya dengan
mempersembahkan sepasang ‘kebo bule’ kepada sinuwun, tepat disaat beliau
membutuhkannya. Kebo bule atau kerbau albino pada masa itu (mungkin juga pada
masa sekarang) adalah kerbau yang sangat jarang ditemui dan dimiliki orang
kebanyakan dan merupakan hewan piaraan bernilai tinggi. Maka sinuwun Pakue
Boewono II menerima dengan baik ‘pisungsung’ (persembahan) sang bupati dan
berterimakasih atas persembahan yang sangat sesuai dengan kebutuhannya. Sinuwun
membawa sepasang kerbau bule itu kembali ke Kraton Kartasura setelah pemberontakan
usai dan hingga kerajaan berpindah tempat ke Desa Sala dan berganti nama
menjadi Kraton Surakarta Hadiningrat.
Secara turun
temurun kerbau bule terus bertindak sebagai penjaga pusaka Kyai Slamet hingga
masyarakat luas menyebut kerbau itu sebagai Kerbau Kyai Slamet. Kerbau Kyai
Slamet berarti kerbau yang menjaga Kyai Slamet, sedangkan Kyai Slamet itu
sendiri adalah sebuah pusaka yang tak kasat mata yang hanya Sang Raja yang tahu
dan bagi rakyat kebanyakan pusaka Kyai Slamet adalah tetap misteri sehingga lebih
mudah bagi mereka untuk menyebut sang kerbau saja sebagai Kyai Slamet. Hingga
kini kerbau Kyai Slamet telah beranak pinak dan tetap dihormati dan disebut
sebagai kerbau bule Kyai Slamet. Konon, saat Paku Buwono II mencari lokasi
untuk kraton yang baru, tahun 1725, leluhur kebo-kebo bule tersebut dilepas,
dan perjalanannya diikuti para abdi dalem kraton, hingga akhirnya berhenti di
tempat yang kini menjadi kraton Kasunanan Surakarta. Kemunculan kebo bule Kyai
Slamet dalam kirab adalah perpaduan antara legenda dan sage (cerita rakyat yang
mendewakan binatang. kraton Surakarta tidak pernah menyatakan tlethong
(kotoran) kerbau bisa mendatangkan berkah, namun bisa diphami ini sebagai cara
masyarakat menciptakan media untuk membuat permohonan.
C.
Kirab Kerbau Kyai Slamet
Malam 1 sura
dalam masyarakat Jawa adalah suatu perayaan tahun baru menurut kalender Jawa.
Dalam perhitungan jawa, malam 1 sura dimulai dari terbenamnya matahari pada
hari terakhir bulan terakhir kelender jawa (29/30 bulan Besar) sampai terbitnya
sang matahari pada hari pertama bulan pertama tahun berikutnya. Dilingkungan
kraton Surakarta Hadiningrat upacara ini diperingati dengan kegiatan kirab
mengililingi beteng kraton.
Dimulai dari kompleks Kemandungan
Utara melalui gerbang Brojonolo kemudian mengintari seluruh kawasan kraton
dengan arah berlawanan arah putaran jarum jam dan berakhir di halaman
Kemandungan Utara. Dalam profesi pusaka kraton menjadi bagian utama pada
barisan terdepan baru kemudian diikuti para pembesar kraton, kerabat dan jajaran
kraton yang lengkap dengan pakaian kratonnya, dan akhirnya oleh masyarakat.
Uniknya pada lapisan barisan terdepan ditempatkan pusaka yang berupa sekawanan
kerbau albino yang diberi nama Kyai Slamet yang selalu menjadi pusat perhatian
tersendiri bagi masyarakat.
Kirab Pusaka 1 Sura ini
melibatkan sekitar 600 abdi dalem yang mengusung 13 pusaka Kraton Surakarta.
Kirab dilakukan dengan membawa penerangan obor dan lampu ting mengelilingi
kompleks kraton melalui Gladag-Jl Jenderal Sudirman-Jl Mayor Kusmanto-Jl Kapten
Mulyadi-Jl Veteran-Jl Yos Sudarso-Jl Slamet Riyadi-Gladag dan kembali ke
kraton. Dari Pringgitan KGPAA Mangkunegaran IX, berjalan menuju
teras Pendhapi Ageng untuk melepas empat pusaka. Sebelum diarak mengelilingi
Pura Mangkunegaran yang diikuti oleh kerabat kerjaan serta masyarakat, pusaka
tersebut dibasuh air terlebih dahulu. Setelah itu barulah saatnya kirab kerbau
kyai slamet. Kirab itu sendiri berlangsung tengah malam, biasanya tepat tengah
malam, tergantung kemauan dari kebo Kyai Slamet. Sebab, ada saatnya kebo kramat
baru keluar dari kandang selepas pukul 01.00. Kirab pusaka ini sepenuhnya
memang sangat tergantung pada kebo kramat Kyai Slamet. Jika saatnya tiba,
biasanya tanpa harus digiring kawanan kebo bule akan berjalan dari kandangnya menuju
halaman kraton. Maka, kirab pun dimulai. Kawanan kerbau kramat akan berada di
barisan terdepan, mengawal pusaka kraton Kyai Slamet yang dibawa para abdi
dalem kraton. Kerumunan orang pun menyemut dari kraton hingga di sepanjang
perjalanan yang dilalui arak-arakan. Selama kirab berlangsung, Sinuhun
Pakubuwono akan berdoa dengan bersemedi di dalam kraton.
Bagi masyarakat Solo, dan kota-kota
di sekitarnya, seperti Karanganyar, Sragen, Boyolali, Klaten, Sukoharjo, dan
Wonogiri, kebo bule Kyai Slamet bukan lagi sebagai hewan yang asing. Setiap
malam 1 Sura menurut penanggalan Jawa, atau malam tanggal 1 Muharam menurut
kalender Islam (Hijriah), sekawanan kebo kramat ini selalu dikirab, menjadi
cucuk lampah sejumlah pusaka kraton.
Ritual kirab malam 1 Sura itu
sendiri sangat ditunggu-tunggu masyarakat. Ribuan orang tumpah ruah di sekitar
istana, juga di jalan-jalan yang akan dilalui kirab. Masyarakat meyakini akan
mendapat berkah dari kraton jika menyaksikan kirab.
Dan inilah yang menarik, orang-orang
menyikapi kesakralan kerbau Kyai Slamet sedemikian rupa, sehingga cenderung
tidak masuk akal. Mereka berjalan mengikuti kirab, saling berebut berusaha
menyentuh atau menjamah tubuh kebo bule. Tak cukup menyentuh tubuh kebo,
orang-orang tersebut terus berjalan di belakang kerbau, menunggu sekawanan kebo
bule buang kotoran.
Begitu kotoran jatuh ke jalan,
orang-orang pun saling berebut mendapatkannya. Tidak masuk akal memang. Tapi
mereka meyakini bahwa kotoran sang kerbau akan memberikan berkah, keselamatan,
dan rejeki berlimpah. Mereka menyebut berebut kotoran tersebut sebagai sebagai
tradisi ngalap berkah atau mencari berkah Kyai Slamet.
D.
Kajian Pustaka
Pada awalnya, "culture"
dekat pengertiannya dengan kata "kultivasi", yaitu pemeliharaan
ternak, hasil bumi, dan upacara-upacara religius (yang darinya diturunkan
istilah kultus atau "cult"). Gerakan Nasionalisme di akhir
abad ke-19 juga ikut mempengaruhi dinamika pemaknaan atas budaya, dimana lahir
istilah "budaya rakyat" dan "budaya nasional". Menurut Rene
Char bahwa kebudayaan adalah warisan kita yang diturunkan tanpa surat wasiat. Kebudayaan
terbentuk dari perilaku nenek moyang yang kemudian menjadi suatu kebiasaan
dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga menjadi ciri khas tersendiri dari suatu
pulau.
Surakarta
memiliki suatu kebudayaan yakni kirab malam satu sura, dimana kirab tersebut
merupakan arak-arakan pusaka-pusaka kraton Surakarta dan sekelompok kerbau bule
yang sering disebut Kerbau Bule Kyai Slamet. Sebagian masyarakat Surakarta
banyak yang beranggapan bahwa barang siapa yang bisa mendapatkan kotoran atau
feses dari kerbau bule Kyai Slamet pada malam satu Sura, akan diberi
keselamatan dan ditambahkan rezeki.
Perilaku
Ngalap berkah Kyai Slamet dipengaruhi faktor internal dan eksternal. Faktor
internal subjek yakni adanya keyakinan bahwa dengan mendapatkan kotoran kerbau
bule Kyai Slamet, akan diberi keselamatan dan bertambahnya rezeki, serta
munculnya penilaian terhadap pengalaman yang dialami dari hubungan interaksi
lingkungan subjek (keluarga, peer group, masyarakat lain) sehingga menimbulkan
sikap yakni melakukan modelling. Faktor eksternal yakni adanya tokoh-tokoh
panutan (nenek moyang, orang tua, group dan masyarakat) sehingga menjadi norma
subjektif yang disebut adat Istiadat. Kedua faktor tersebut didukung lagi
dengan adanya intensi berperilaku subjek melakukan ritual malam satu sura.
Fenomenologi
perilaku ngalap berkah Kyai Slamet, merupakan proses atribusi yang berasal dari
persepsi dan dipengaruhi oleh locus of
cusality Internal dan Eksternal, dimana persepsi yang muncul antara
lain:1) Raja adalah orang yang luar biasa. 2) Raja merupakan orang yang paling
dekat dengan Dewa (Tuhan). 3) Keinginan Manunggaling Kawula Lan Gusti (menjadi
satu dengan Tuhan / dekat dengan Tuhan). 4) Semakin dekat dengan Raja maka
dekat pula dengan Tuhan. 5) Kerbau bule yang disimbolkan dengan Raja, maka
sesuatu yang keluar dan sisa dari kerbau bule Kyai slamet juga dianggap sesuatu
yang dianggap sama dengan apa yang dikeluarkan oleh seorang raja. Locus of
causality internal, adanya emosional yang berlebihan untuk bertemu
dengan Raja, dengan harapan menjadi lebih dekat dengan Tuhan sehingga segala
harapan akan terkabul dan locus of causality eksternalnya karena adanya
birokrasi yang membatasi (susah dan rumit) untuk bertemu dengan seorang Raja.
Sehingga perilaku atribusi yang terjadi adalah 1) bertemu dengan binatang
kesayangan 2) berusaha mendapatkan bagian dari Kerbau Bule Kyai Slamet 3) Feses
digunakan sebagai jimat keberuntungan.
DAFTAR
PUSTAKA
Kuntowijoyo.
2004. Raja, Priyayi, dan Kawula.
Yogyakarta: Ombak
Margana, S. 2004. Kraton Surakarta dan Yogyakarta 1769-1874. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Sutrisno, Mudji dan Hendar
Putranto. 2005. Teori-Teori Kebudayaan.
Jakarta: Penerbit Kanisius