25 Januari 2014

Komunikasi Antar Budaya : Tradisi Kirab Kerbau Kyai Slamet


Komunikasi Antar Budaya
Tradisi Kirab Kerbau Kyai Slamet




Maria Zen Budiati - 602012009

PUBLIC RELATIONS
FAKULTAS TEKNIK INFORMASI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
2013

A.     Pendahuluan
Selain memiliki kemegahan arsitektur bangunan, Kraton Surakarta juga memiliki suatu warisan budaya yang tak ternilai. Diantaranya adalah upacara-upacara adat, tari-tarian sakral, musik, dan pusaka. Upacara adat yang terkenal adalah upacara Garebeg, upacara Sekaten, dan upacara Malam Satu Suro. Upacara yang berasal dari zaman kerajaan ini hingga sekarang terus dilaksanakan dan merupakan warisan budaya Indonesia yang harus dilindungi.
Tahun baru Jawa yang jatuh tiap malam 1 Suro (1 Muharram) tidak disambut dengan kemeriahan, namun dengan berbagai ritual sebagai bentuk introspeksi diri. Saat malam 1 Suro tiba, masyarakat Jawa umumnya melakukan ritual tirakatan, lek-lekan (tidak tidur semalam suntuk), dan tuguran (perenungan diri sambil berdoa). Bahkan sebagian orang memilih menyepi untuk bersemedi di tempat sakaral seperti puncak gunung, tepi laut, pohon besar, atau di makam kramat. Bagi masyarakat Jawa, bulan Suro sebagai awal tahun Jawa juga dianggap sebagai bulan yang sakral atau suci, bulan yang tepat untuk melakukan renungan, tafakur, dan introspeksi untuk mendekatkan dengan Yang Maha Kuasa. Cara yang biasa digunakan masyarakat Jawa untuk berinstrospeksi adalah dengan lelaku, yaitu mengendalikan hawa nafsu.
Sepanjang bulan Suro masyarakat Jawa meyakini untuk terus bersikap eling (ingat) dan waspada. Eling artinya manusia harus tetap ingat siapa dirinya dan dimana kedudukannya sebagai ciptaan Tuhan. Sedangkan waspada berarti manusia juga harus terjaga dan waspada dari godaan yang menyesatkan. Karenanya dapat dipahami jika masyarakat Jawa pantang melakukan hajatan pernikahan selama bulan Suro. Pesta pernikahan yang biasanya berlangsung dengan penuh gemerlap dianggap tidak selaras dengan lelaku yang harus dijalani selama bulan Suro. Ritual 1 Suro telah dikenal masyarakat Jawa sejak masa pemerintahan Sultan Agung (1613-1645 Masehi). Saat itu masyarakat Jawa masih mengikuti sistem penanggalan Tahun Saka yang diwarisi dari tradisi Hindu. Sementara itu umat Islam pada masa Sultan Agung menggunakan sistem kalender Hijriah. Sebagai upaya memperluas ajaran Islam di tanah Jawa, kemudian Sultan Agung memadukan antara tradisi Jawa dan Islam dengan menetapkan 1 Muharram sebagai tahun baru Jawa.
Di Kraton Surakarta Hadiningrat kirab malam 1 Suro dipimpin oleh Kebo Bule Kyai Slamet sebagai Cucuking Lampah. Kebo Bule merupakan hewan kesayangan Susuhunan yang dianggap kramat. Di belakang Kebo Bule barisan berikutnya adalah para putra Sentana Dalem (kerabat kraton) yang membawa pusaka, kemudian diikuti masyarakat Solo dan sekitarnya seperti Karanganyar, Boyolali, Sragen dan Wonogiri.
B.     Sejarah
Pada masa Pemerintahan Pakoe Boewono II, jaman Kraton Kartasura di sekitar abad ke 17, diceritakan bahwa di kerajaan terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh Pangeran Mangkubumi yang membuat ’sinuwun’ harus melarikan diri ke Ponorogo. Di Ponorogo beliau ditampung oleh Bupati Ponorogo dan berdiam di sana untuk beberapa saat hingga pemberontakan berakhir. Pada masa pelariannya di Ponorogo, Sang Raja Kartasura itu memperoleh petunjuk gaib bahwa pusaka Kyai Slamet harus ‘direkso’ atau dijaga oleh sepasang ‘kebo bule’ atau kerbau albino jika ingin kerajaan aman sentausa dan langgeng. Kuasa Tuhan yang luar biasa pada saat itu, seolah gayung bersambut, Sang Bupati Ponorogo tiba-tiba ingin menunjukkan baktinya kepada rajanya dengan mempersembahkan sepasang ‘kebo bule’ kepada sinuwun, tepat disaat beliau membutuhkannya. Kebo bule atau kerbau albino pada masa itu (mungkin juga pada masa sekarang) adalah kerbau yang sangat jarang ditemui dan dimiliki orang kebanyakan dan merupakan hewan piaraan bernilai tinggi. Maka sinuwun Pakue Boewono II menerima dengan baik ‘pisungsung’ (persembahan) sang bupati dan berterimakasih atas persembahan yang sangat sesuai dengan kebutuhannya. Sinuwun membawa sepasang kerbau bule itu kembali ke Kraton Kartasura setelah pemberontakan usai dan hingga kerajaan berpindah tempat ke Desa Sala dan berganti nama menjadi Kraton Surakarta Hadiningrat.
Secara turun temurun kerbau bule terus bertindak sebagai penjaga pusaka Kyai Slamet hingga masyarakat luas menyebut kerbau itu sebagai Kerbau Kyai Slamet. Kerbau Kyai Slamet berarti kerbau yang menjaga Kyai Slamet, sedangkan Kyai Slamet itu sendiri adalah sebuah pusaka yang tak kasat mata yang hanya Sang Raja yang tahu dan bagi rakyat kebanyakan pusaka Kyai Slamet adalah tetap misteri sehingga lebih mudah bagi mereka untuk menyebut sang kerbau saja sebagai Kyai Slamet. Hingga kini kerbau Kyai Slamet telah beranak pinak dan tetap dihormati dan disebut sebagai kerbau bule Kyai Slamet. Konon, saat Paku Buwono II mencari lokasi untuk kraton yang baru, tahun 1725, leluhur kebo-kebo bule tersebut dilepas, dan perjalanannya diikuti para abdi dalem kraton, hingga akhirnya berhenti di tempat yang kini menjadi kraton Kasunanan Surakarta. Kemunculan kebo bule Kyai Slamet dalam kirab adalah perpaduan antara legenda dan sage (cerita rakyat yang mendewakan binatang. kraton Surakarta tidak pernah menyatakan tlethong (kotoran) kerbau bisa mendatangkan berkah, namun bisa diphami ini sebagai cara masyarakat menciptakan media untuk membuat permohonan.
C.     Kirab Kerbau Kyai Slamet
Malam 1 sura dalam masyarakat Jawa adalah suatu perayaan tahun baru menurut kalender Jawa. Dalam perhitungan jawa, malam 1 sura dimulai dari terbenamnya matahari pada hari terakhir bulan terakhir kelender jawa (29/30 bulan Besar) sampai terbitnya sang matahari pada hari pertama bulan pertama tahun berikutnya. Dilingkungan kraton Surakarta Hadiningrat upacara ini diperingati dengan kegiatan kirab mengililingi beteng kraton.
Dimulai dari kompleks Kemandungan Utara melalui gerbang Brojonolo kemudian mengintari seluruh kawasan kraton dengan arah berlawanan arah putaran jarum jam dan berakhir di halaman Kemandungan Utara. Dalam profesi pusaka kraton menjadi bagian utama pada barisan terdepan baru kemudian diikuti para pembesar kraton, kerabat dan jajaran kraton yang lengkap dengan pakaian kratonnya, dan akhirnya oleh masyarakat. Uniknya pada lapisan barisan terdepan ditempatkan pusaka yang berupa sekawanan kerbau albino yang diberi nama Kyai Slamet yang selalu menjadi pusat perhatian tersendiri bagi masyarakat.
Kirab Pusaka 1 Sura  ini melibatkan sekitar 600 abdi dalem yang mengusung 13 pusaka Kraton Surakarta. Kirab dilakukan dengan membawa penerangan obor dan lampu ting mengelilingi kompleks kraton melalui Gladag-Jl Jenderal Sudirman-Jl Mayor Kusmanto-Jl Kapten Mulyadi-Jl Veteran-Jl Yos Sudarso-Jl Slamet Riyadi-Gladag dan kembali ke kraton.  Dari Pringgitan  KGPAA Mangkunegaran IX, berjalan menuju teras Pendhapi Ageng untuk melepas empat pusaka. Sebelum diarak mengelilingi Pura Mangkunegaran yang diikuti oleh kerabat kerjaan serta masyarakat, pusaka tersebut dibasuh air terlebih dahulu. Setelah itu barulah saatnya kirab kerbau kyai slamet. Kirab itu sendiri berlangsung tengah malam, biasanya tepat tengah malam, tergantung kemauan dari kebo Kyai Slamet. Sebab, ada saatnya kebo kramat baru keluar dari kandang selepas pukul 01.00. Kirab pusaka ini sepenuhnya memang sangat tergantung pada kebo kramat Kyai Slamet. Jika saatnya tiba, biasanya tanpa harus digiring kawanan kebo bule akan berjalan dari kandangnya menuju halaman kraton. Maka, kirab pun dimulai. Kawanan kerbau kramat akan berada di barisan terdepan, mengawal pusaka kraton Kyai Slamet yang dibawa para abdi dalem kraton. Kerumunan orang pun menyemut dari kraton hingga di sepanjang perjalanan yang dilalui arak-arakan. Selama kirab berlangsung, Sinuhun Pakubuwono akan berdoa dengan bersemedi di dalam kraton.
Bagi masyarakat Solo, dan kota-kota di sekitarnya, seperti Karanganyar, Sragen, Boyolali, Klaten, Sukoharjo, dan Wonogiri, kebo bule Kyai Slamet bukan lagi sebagai hewan yang asing. Setiap malam 1 Sura menurut penanggalan Jawa, atau malam tanggal 1 Muharam menurut kalender Islam (Hijriah), sekawanan kebo kramat ini selalu dikirab, menjadi cucuk lampah sejumlah pusaka kraton.
Ritual kirab malam 1 Sura itu sendiri sangat ditunggu-tunggu masyarakat. Ribuan orang tumpah ruah di sekitar istana, juga di jalan-jalan yang akan dilalui kirab. Masyarakat meyakini akan mendapat berkah dari kraton jika menyaksikan kirab.
Dan inilah yang menarik, orang-orang menyikapi kesakralan kerbau Kyai Slamet sedemikian rupa, sehingga cenderung tidak masuk akal. Mereka berjalan mengikuti kirab, saling berebut berusaha menyentuh atau menjamah tubuh kebo bule. Tak cukup menyentuh tubuh kebo, orang-orang tersebut terus berjalan di belakang kerbau, menunggu sekawanan kebo bule buang kotoran.
Begitu kotoran jatuh ke jalan, orang-orang pun saling berebut mendapatkannya. Tidak masuk akal memang. Tapi mereka meyakini bahwa kotoran sang kerbau akan memberikan berkah, keselamatan, dan rejeki berlimpah. Mereka menyebut berebut kotoran tersebut sebagai sebagai tradisi ngalap berkah atau mencari berkah Kyai Slamet.
D.     Kajian Pustaka
Pada awalnya, "culture" dekat pengertiannya dengan kata "kultivasi", yaitu pemeliharaan ternak, hasil bumi, dan upacara-upacara religius (yang darinya diturunkan istilah kultus atau "cult"). Gerakan Nasionalisme di akhir abad ke-19 juga ikut mempengaruhi dinamika pemaknaan atas budaya, dimana lahir istilah "budaya rakyat" dan "budaya nasional". Menurut Rene Char bahwa kebudayaan adalah warisan kita yang diturunkan tanpa surat wasiat. Kebudayaan terbentuk dari perilaku nenek moyang yang kemudian menjadi suatu kebiasaan dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga menjadi ciri khas tersendiri dari suatu pulau.
Surakarta memiliki suatu kebudayaan yakni kirab malam satu sura, dimana kirab tersebut merupakan arak-arakan pusaka-pusaka kraton Surakarta dan sekelompok kerbau bule yang sering disebut Kerbau Bule Kyai Slamet. Sebagian masyarakat Surakarta banyak yang beranggapan bahwa barang siapa yang bisa mendapatkan kotoran atau feses dari kerbau bule Kyai Slamet pada malam satu Sura, akan diberi keselamatan dan ditambahkan rezeki.
Perilaku Ngalap berkah Kyai Slamet dipengaruhi faktor internal dan eksternal. Faktor internal subjek yakni adanya keyakinan bahwa dengan mendapatkan kotoran kerbau bule Kyai Slamet, akan diberi keselamatan dan bertambahnya rezeki, serta munculnya penilaian terhadap pengalaman yang dialami dari hubungan interaksi lingkungan subjek (keluarga, peer group, masyarakat lain) sehingga menimbulkan sikap yakni melakukan modelling. Faktor eksternal yakni adanya tokoh-tokoh panutan (nenek moyang, orang tua, group dan masyarakat) sehingga menjadi norma subjektif yang disebut adat Istiadat. Kedua faktor tersebut didukung lagi dengan adanya intensi berperilaku subjek melakukan ritual malam satu sura.
Fenomenologi perilaku ngalap berkah Kyai Slamet, merupakan proses atribusi yang berasal dari persepsi dan dipengaruhi oleh locus of cusality Internal dan Eksternal, dimana persepsi yang muncul antara lain:1) Raja adalah orang yang luar biasa. 2) Raja merupakan orang yang paling dekat dengan Dewa (Tuhan). 3) Keinginan Manunggaling Kawula Lan Gusti (menjadi satu dengan Tuhan / dekat dengan Tuhan). 4) Semakin dekat dengan Raja maka dekat pula dengan Tuhan. 5) Kerbau bule yang disimbolkan dengan Raja, maka sesuatu yang keluar dan sisa dari kerbau bule Kyai slamet juga dianggap sesuatu yang dianggap sama dengan apa yang dikeluarkan oleh seorang raja. Locus of causality internal, adanya emosional yang berlebihan untuk bertemu dengan Raja, dengan harapan menjadi lebih dekat dengan Tuhan sehingga segala harapan akan terkabul dan locus of causality eksternalnya karena adanya birokrasi yang membatasi (susah dan rumit) untuk bertemu dengan seorang Raja. Sehingga perilaku atribusi yang terjadi adalah 1) bertemu dengan binatang kesayangan 2) berusaha mendapatkan bagian dari Kerbau Bule Kyai Slamet 3) Feses digunakan sebagai jimat keberuntungan.



  
DAFTAR PUSTAKA

Kuntowijoyo. 2004. Raja, Priyayi, dan Kawula. Yogyakarta: Ombak
Margana, S. 2004. Kraton Surakarta dan Yogyakarta 1769-1874.  Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Sutrisno, Mudji dan Hendar Putranto. 2005. Teori-Teori Kebudayaan. Jakarta: Penerbit Kanisius
 

Zen Copyright © 2015 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos